KPK MINTAK KEPADA LSM
WARTAWAN DAN MASYARAKAT KAWAL DANA DESA

Turut hadir
dalam pembicara yakni Wakil Ketua Sementara Johan Budi SP, Sekjen Kementerian
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDTT) Anwar Sanusi dan
Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan.
Johan mengatakan pentingnya pengawalan dana desa sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemerintah menggelontorkan dana desa lebih dari Rp 20 triliun.
Johan mengatakan pentingnya pengawalan dana desa sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemerintah menggelontorkan dana desa lebih dari Rp 20 triliun.
Darisana, KPK
khawatir banyak pihak yang mencoba menyalah gunakan dana tersebut mulai dari
kewenangan hingga dana itu sampai ke masyarakat.
“KPK pun melakukan kajian Sistem Pengelolaan Keuangan Desa agar implementasi Undang Undang Desa tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kajian ini untuk menghindari munculnya pihak-pihak yang mencoba untuk menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan sendiri atau golongan,” ujar Johan.
“KPK pun melakukan kajian Sistem Pengelolaan Keuangan Desa agar implementasi Undang Undang Desa tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kajian ini untuk menghindari munculnya pihak-pihak yang mencoba untuk menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan sendiri atau golongan,” ujar Johan.
Sementara itu,
Sekjen Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDTT)
Anwar Sanusi mengaku telah memberikan fasilitas terkait beberapa hal yang akan
menjadi persoalan dalam proses pencairannya itu. Contohnya membuat RPJMDes kemudian
APBDes. Kami ketika melakukan beberapa rapat koordinasi, ternyata problematika
ada disitu, banyk sekali daerah-daerah yang mungkin tadi kapasitas SDMnya belum
terlalu terpenuhi,” ujar Anwar.
Anwar
mengatakan dari 74.093 desa itu ada 5 kepala desa yang memiliki Ijasah S3.
Tingkat pendidikan kepala desa yang rendah menjadi persoalan untuk kebutuhan
menyusun APBDes ini. Dari Kemendes, kata Anwar, juga akan membuka pelatihan
Grand Master untuk para kepala desa.
“Jadi nanti
kami akan melatih para trainer-trainer ketika tenaga pendamping desa itu sudah
kita angkat dan Agustus sudah bisa mengangkat. Maka Desember itulah mereka
melakukan tugas dan fungsinya,” ujar Anwar.
Adapun
fasilitas pendampingan bagi tiap kepala desa, Anwar mengaku tidak bisa
memaksakan 1 orang didampingi 1 pendamping. Sebab, permasalahannya adalah
anggaran negara tidak cukup untuk membiayai para pendamping tersebut. “Keinginan kami satu desa satu
pendamping, tapi berdasarkan kekuatan anggaran sampai saat ini akan sangat
berat, sehingga sementara, 2 sampai 3 desa baru akan 1 pendamping,” ujar Anwar.
Pihak
Kemendagri, yang diwakilkan Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri
Nata Irawan, mengatakan siap berkoordinasi dengan Kemendes terkait pencairan
dana desa. Sebelumnya, kata Nata, koordinasi dengan Kemendes sudah dilakukan
terkait kewenangan yang sempat tarik menarik dengan kementeriannya. “Dalam Perpres yang berbeda, mana
yang menjadi aturan Kementerian Desa dan mana yang Kemendagri. Sehingga
teman-teman di kabupaten / kota maupun di desa tidak ada lagi bingung
pertanyaan-pertanyaan seperti itu,” ujarnya.
Kemendagri
memastikan dalam penyusunan regulasi itu tentu koordinasi dengan Kemendes.
“Pasal demi pasal, ayat demi ayat ketika kami susun kami kordinasikan juga
dengan Kemendes. Kalau itu menyangkut keuangan tentu dengan Kemenkeu, sampai
seterusnya harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Jadi memang apa
namanya PP 47 yang baru lahir tidak serta merta dalam waktu 1 bulan kita bisa melahirkan
begitu saja,” ujar Nata.
Hasil kajian
KPK sejumlah potensi persoalan pengelolaan dana desa selama penyaluran tahap
pertama di 63 kabupaten. Setidaknya ada 14 potensi persoalan. Salah satunya,
persoalan regulasi. Ada perubahan aturan dari PP No 60/2014 menjadi PP No
22/2015 yang mengakibatkan formula pembagian dana desa berubah.
Di dalam Pasal
11 PP No 60/2014, formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten cukup
transparan yakni dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel. Namun, pada PP
yang baru, yakni Pasal 11 PP No 22/2015, formula pembagian dihitung berdasar
jumlah desa, dengan bobot sebesar 90 persen. Sisanya, 10 persen dihitung
menggunakan formula jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan
tingkat kesulitan geografis.
Dari contoh diatas, Johan mengimbau agar patut diwaspadai dari hasil temuan KPK tersebut. Meski kebijakan tidak bisa dikriminalisasi, namun ketika pejabat negara tersebut mengambil kebijakan dengan sengaja menguntungkan orang lain atau melawan hukum, maka bisa disebut korupsi.
Dari contoh diatas, Johan mengimbau agar patut diwaspadai dari hasil temuan KPK tersebut. Meski kebijakan tidak bisa dikriminalisasi, namun ketika pejabat negara tersebut mengambil kebijakan dengan sengaja menguntungkan orang lain atau melawan hukum, maka bisa disebut korupsi.
“Jadi
kebijakan tidak bisa dikriminalisasi, tidak bisa kebijakannya (diusut) tetapi
yang harus diusut hukum adalah yang membuat kebijakan itu. Itu ada unsur-unsur
yang memenuhi ga, (mens rea, kerugian negara dan melawan hukum). Kalau ada,
maka itu masuk wilayah Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 atau
Pasal 3,” ujarnya. (Humas KPK/LA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar